Abbas bin Abdul Muththalib
"Hai Nabi, katakanlah kepada
tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam
hatimu niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah
diambil darimu dan dia akan mengampuni kamu. Dan, Allah Maha Pemgampun lagi
Maha Penyayang". (Q.,s. al-Anfaal : 7)
Menurut beberapa orang ahli tafsir, ayat
tersebut diturunkan berkenaan dengan Abbas bin Abdul Muththalib, Aqil bin Abdul
Muththalib dan Naufal ibnu al-Harits.
Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu 'anhu
Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling
dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, "Abbas
adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan
menyakitiku."
Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran
Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab
di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pemah menjadi
pembantu dan penasihat utamanya dalam bai'at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar
dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan
Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah
binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan
kelambu sutra pada Baitullah al- Haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pemah
hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan
mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan,
maka iapun menepati nazamya itu
Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul
Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bemama al-Fadhal. Wajahnya tampan.
Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau
menunaikan haji wada'-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit
amuas. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah,
seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam . Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan
meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma'bad, mati syahid di Afrika. Abdullah
(bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal
dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan
oleh sejarah.
Para ahli sejarah berbeda keterangan tentang
Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang
mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya, ia
memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada
Nabi di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan
dari beliau. Kabamya, ia pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah,
tapi Rasulullah menyatakan, "Kau lebih baik tinggal di Mekah ".
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh
keterangan Abu Rafi', pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku rnenjadi pembantu di
rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk
ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk
Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia
menyembunyikan keislamannya."
Ia selalu menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam di Ka'bah. Ka'ab bin Malik mengutarakan, "Kami (saya dan
al-Barra' bin Ma'rur) mencari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami
tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya. Kami bertemu dengan
seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di mana kami bisa menemui
Rasulullah. Ia balik bertanya, 'Apakah kalian berdua mengenalnya?' Kami
menjawab, 'Tidak!'. Ia lalu bertanya, 'Kalian mengenal Abbas bin Abdul
Muththalib, pamannya?'
Kami menjawab, 'Ya!' Memang kami sudah
mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan. Orang tadi lalu berkata, 'Kalau kalian masuk
ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah Abbas itulah orang yang kalian
cari!".
Kemudian, kami masuk ke Masjidil Haram.
Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di sana dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam duduk di sebelahnya".
Abbas radhiallahu 'anhu mempunyai peran
penting yang tidak bisa diabaikan dalam baiat al- Aqabah. Ia orang pertama yang
berpidato dalam majelis itu. Ia berkata :
"Wahai kaum Khazraj, (pada masa itu,
suku al-Aus dan al-Khazraj dipanggil dengan al-Khazraj saja) kalian seperti
yang saya ketahui telah mengundang datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad
itu orang yang paling mulia di tengah-tengah familinya. Ia dibela oleh orang
orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham dengan pikirannya demi
memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak tawaran orang lain selain
kalian. Kalau kalian memiliki kekuatan, ketabahan, dan pengertian tentang ilmu
peperangan, mempunyai kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh
bangsa Arab, karena mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu
anak panah, maka camkanlah baik-baik terlebih dahulu, rembukkanlah antara
kalian dengan mufakat dan sepakat bulat dalam majelis ini karena sebaik-baik
bicara itu ialah yang jujur."
Kata-kata itu menunjukkan pengetahuannya yang
luas dan pemikiran yang cerdas tentang berbagai persoalan. Ia ingin mengenali
hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka. Ia lalu berkata
lagi, "Cobalah kalian ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang
menghadapi musuh?".
Abdullah bin Amru bin Haram bangkit
memberikan jawaban, "Percayalah bahwa kami adalah ahli perang. Kami
memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan latihan kami dan berkat warisan
nenek moyang kami. Kami lepaskan anak panah kami sampai habis, lalu kami
mainkan tombak kami sampai patah, kemudian kami menyerang dengan pedang,
berperang tanding hingga tewas atau menewaskan musuh kami".
Cerahlah wajah Abbas mendengarkan keterangan
mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakannya itu, seorang yang
paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan, ia berkata lagi,
"Kalian mengatakan ahli peperangan. Apakah kalian mempunyai baju besi?".
"Ya, lengkap," jawab mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
kemudian membaiat mereka dan Abbas mengambil tangan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk mengukuhkan baiat itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berhijrah ke Yatsrib sedangkan Abbas tinggal di Mekah, mendengarkan berita
Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy,
hingga berkecamuknya Perang Badar. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam,
tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa keluar berperang oleh Quraisy
sedangkan mereka tidak berdaya mengelak. Rasulullah bersabda, "Aku tahu
ada orang-orang dari Bani Hasyim dan lain- lain yang terpaksa keluar. Mereka
tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kami. Siapa di antara kalian yang
menjumpai mereka, orang-orang dari Bani Hasyim, janganlah dibunuh; siapa yang
menjumpai Abbas bin AbduI Muththalib, paman Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam.,
janganlah di bunuh karena ia keluar berperang karena terpaksa".
Keterangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam. itu tersebar luas di kalangan orang yang pergi ke Badar. Kaum
mukminin menerima baik perintahnya itu. Kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin
Rabi'ah, yang berucap dengan lantang, "Kami membunuh bapak kami, anak-anak
kami, saudara-saudara dan keluarga kami, lalu kami akan membiarkan Abbas? Demi
Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan memancungnya dengan pedangku
ini!"
Kata-katanya itu terdengar oleh Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam., lalu beliau berkata kepada Umar ibnul Khaththab,
"Ya Aba Hafsah,ada juga orang yang mau menghantam wajah paman Rasullullah
dengan pedangnya!"
"Biarkanlah, ya Rasulullah, aku penggal
leher Abu Hudzaifah itu dengan pedangku ini. Demi Allah, dia itu seorang
munafik," ucap Umar.
Akan tetapi, Rasulullah tidak membiarkan Umar
bertindak membunuh kawan-kawanya yang bersalah. Beliau membiarkan mereka
bertobat dan menebus dosanya masing-amsing. Ternayta, Abu hudzaifah sangat
menyesali kata-katanya itu dan senantiasa mengulang-ulang perkataanya,
"Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas kata-kata yang pernah kaku
yucapkan
dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar rasa
takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan syahadah!"
Ternyata, harapannya itu Allah penuhi, ia tewas sebagai syahid dalam Perang
Yamamah.
Pada suatu hari, Abbas pergi berhijarah ke
Medinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang
tarikh hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.telah membemberikan sebidang tanah kepadanya berdekatan dengan tempat
kediamannya.
Di Madinah terjadi pertengkaran antara
seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak zaman Jahiliah, di mana orang itu
memaki-maki ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap Abbas terjadi
berualng-ulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditamparnya. Kabilah orang
itu tidak senang hati, mereka siap-siap akan menuntut balas. Mereka berkata,
"Demi Allah, kami akan menamparnya seperti ia menampar saudara
kami!"
Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam , lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik
ke atas mimbar, seraya memanjatkan puja dan puji kepada Allah Subhânahu
wata'âla dan bersabda, "Wahai para hadirin, tahukah kalian, siapa orang
yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu wata'âla?"
"Engkau, ya Rasulullah!" jawab
hadirin. "Tahukah kalian bahwa
Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mengumpat orang- orang yang
sudah mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih hidup."
Kabilah orang itu datang mengahadap
Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah
dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya Rasulullah."
Pernyataan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam tersebut menguatkan keterangan Abu Majas radhiallâhu 'anhu. tentang
sabdanya, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang
menyakitinya sama dengan menyakitiku."
Pada suatu hari, Abbas datang menghadap
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dan bermohon dengan penuh harap,
"Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat
pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang
berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang,
namun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak ingin mengangkat pamannya
menjadi kepala pemerintahan; ia tidak ingin pamannya dibebani tugas
pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan manis dan penuh
pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada
menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Ternyata Abbas menerima dengan senang hati
pendapat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., tetapi malah Ali bin Abi
Thalib radhiallâhu 'anhu yang kurang puas. Ia lalu berkata
kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi
pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut
sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali bin Abi
Thalib itu, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya
,"Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran)
dosa orang."
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.seorang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau
mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah, bahkan ia
tidak diberi kesemopatan dan harapan mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi,
tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.
Untuk yang ketiga kalinya, pamannya itu
datang menghadapnya dan berharap dengan penuh kerendahan hati, "Aku ini
pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah hampir. Ajarilah aku sesuatu
yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan aku tidak berdaya sedikitpun dalam
masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi mohonlah selalu kepada Tuhanmu
ampunan dan kesehatan!"
Sesudah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.menuiakan risalah Alalh Subhânahu wata'âla dengan baik, manyampaikan
agamaNya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali ke rahmatullah
dengan tenang. Ternyata Abbas orang yang paling merasa kesepian atas
kepergiannya itu.
Abbas hidup terhormat di bawah pemerintrahan
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan Umar ibnul
Khaththab radhiallâhu 'anhu..
Tiap kali Khalifah hendak ke masjid ia selalu
harus melewati rumah Abbas. Di atas rumahnya itu terdapat sebuah pancuran air.
Pada suatu hari, ketika Khalifah Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi
hendak menghadiri shalat jamaah, tiba-tiba pancuran air itu menumpahkan airnya
dan mengenai pakaian Umat. Ia kembali pulang untuk mengganti pakaian dan
memerintahkan supaya pancuran itu dibuka. Sesudah beliau selesai shalat,
datanglah Abbas seraya berkata, "Demi Allah, pancuran itu diletakkan oleh
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.."
Khalifah Umar menjawab, "Aku mohon
kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran itu di tempat yang diletakkan
oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan menaiki pundakku."
Abbas menerima baik harapan Umar untuk
memperbaiki kesalahannya itu. Abbas
tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa
yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hati Umar
yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia
memerintahkan mencabut apa yang
dipasang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki
pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu,
ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam itu.
Masjid Nabawi di Madinah kian hari kian
menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin dari hari ke hari makin bertambah
dengan pesatnya. Khalifah Umar berpikir akan memperluasnya dengna membeli
rumah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua bangunan yang ada
disekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdullah Muththalib. Apa
mungkin ia menyumbangkan harganya kelak di Baitulmal ataukah ia akan menerima
harga ganti ruginya?
Khalifah Umar datang menemuinya seraya
berkata, "Ya Abal Fadhal, engkau lihat, masjid sudah sempit sekali karena
banyaknya orang shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah
dan bangunan yang ada disekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali
rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul Mu'minin yang belum. Kalau kamar-akmar
Ummuhatul Mu'minin rasanya tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi
rumahmu jual-lah kepada kami berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal
supaya bisa meluaskan bangunan masjid."
Abbas menjawab, "Aku tidak
mau." Umar berkata; "Pilihlah
satu diantara tiga: engkau menjual berapa pun yang engkau kehendaki dari
Baitulmal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku
bangunkan untukmu dari Baitulmal di daerah manapun di Madinah yang engkau
kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada muslimin untuk meluaskan
masjid mereka."
Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima
semaunya." Umar berharap,
"Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.' Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat
Ubai bin Ka'ab."
Keduanya pergi menemui Ubai bin Ka'ab, lalu
kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan dimintai pendapatnya.
Ubai berkata, "Aku mendengar Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Allah Subhânahu wata'âla pernah
mewahyukan kepada Nabi Daud, 'Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah tempat
orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud lalu merencanakan pembangunannya
di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu mengenai rumah seorang Bani Israel.
Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi ia menolak.
Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk mengambilnya dengan paksa. Allah
Subhânahu wata'âla lalu mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud, aku menyuruhmu
membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku pemaksaan itu
bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya!'
Nabi Daud menjawab, 'Ya Allah, aku lakukan pada anakku!' Allah berfirman lagi,
'Siapa anakmu?""
Khafilah Umar tidak bisa lagi menahan
marahnya, lalu ia menyambar baju Ubai bin Ka'ab dan
menggiringnya ke masjid seraya berkata,
"Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus
membuktikan keteranganmu di hadapan kaum muslimin!"
Ia membawanya ke tengah-tengah halaqah yang
diselenggarakan shahabat Rasulullah di masjid Nabawi, dimana antara lain
terdapat Abu Dzar radhiallâhu 'anhu.Umar lalu berkata kepada para hadirin,
"Saya mengharap dengan nama Allah, adakah diantara kalian yang
mendengarkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.berbicara tentang Baitul
Maqdis, ketika Alalh memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan rumah-Nya tempat
orang menyebut-nyebut namaNya?"
Abu Dzar radhiallâhu 'anhu menjawab'
"Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang lain, "Ya, saya juga
mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang menyambung, "Saya juga
mendengar!"
Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu lalu berkata
kepada Abbas radhiallâhu 'anhu, "pergilah! Aku tidak akan menuntutmu
membongkar rumahmu."
Abbas radhiallâhu 'anhu berkata, "Kalau
demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk
kepentingan kaum muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau
kau akan mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan
mengalah."
Memang Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu
bertindak setengah memaksa karena proyek itu menyangkut kepentingan kaum
muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi,
apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya. Ia harus tunduk dan
menerima baik syariat Allah dan RasulNya. Sesudah Abbas melihat ketundukan
Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan
kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas haknya yang dijamin
oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi ia benar-benar berjuang
demi kesehjahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk menyerahkan
rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum
muslimin.
Demikian tokoh-tokoh model "sekolah
Rasulullah" dan "sekolah Al-Qur'anul Karim" radhiallahu 'anhum
ajma'in. Mereka angkatan kaum muslimin yang pertama, yang telah membawa panji
Islam ke seluruh jagat raya ini, yang telah membangkitkan peradaban umat
manusia, yang mengajar dan mendidik manusia maju dan mengenali peradaban antara
agama kebenaran dan kebatilan.
Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah
Umar, terjadilah paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan
kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya
masing-masing. Umar menganjurkan kepada muslimin yang berkemampuan supaya
mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan
kelaparan itu. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan
kelebihan daerahnya ke pusat. Ka'ab masuk menemui Khalifah Umar seraya
mengutrarakan, "Ya Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi
bencana
semacam ini, mereka meminta hujan dengan
kelompok para nabi mereka."
Umar berakta, "Ini dia paman Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia
pimpinan bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan
menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan
paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya
Allah, kami menghadapkan diri kepadaMu bersama dengan paman Nabi kami dan
saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai
putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan
puja dan puji kepada Allah Subhânahu wata'âla, "Ya Allah, Engkau yang
mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan
turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh- tumbuhan dan
suburkanlah semua air susu".
Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan
bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali
karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka
turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama
diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama
makhluk-Mu yang tidak bicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah
kami dengan hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya Allah, kami mengadukan
semua bencana orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan, dan semua
orang yang menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka dengan hujan-Mu
sebelum mereka berputus asa dan celaka. Sesungguhnya, tidak akan berputus asa
dengan rahmat karunia-Mu kecuali orang-orang yang kafir."
Ternyata doanya itu langsung diterima dan
disambut Allah Subhânahu wata'âla. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh
dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah Subhânahu wata'âla dan
mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain,
yang mengurusi minuman orang di Mekah dan Madinah."
Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum
muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau ia berjalan dan berpapasan
dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan, keduanya turun dari
kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.!"
Sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan
ada penghabisannya, setiap perjalanan ada perhentiannya, demikian pula dengan
Abbas radhiallâhu 'anhu, perjalanan hidupnya terhenti dan kembali ke
rahmatullah menyusul keponakkannya Shallallâhu 'alaihi wasallam dan rekan-
rekannya yang lain, pada hari Jumat tanggal 12 Rajab 32 Hijrah, dalam usia 82
tahun, dan dikebumikan di al-Baqi' di Madinah, rahimullah wa
radhiallahu'anhu.
Sebab Turunya Ayat
Dalam Perang Badar yang berkecamuk antara
kaum muslimin dan kaum musyrikin, Abbas
berhasil ditawan oleh Abul Yusr, Ka'ab bin
Amru, yang menurut Ahli sejarah kedua tangannya kurus dan perawakannya juga
lemah, sedangkan Abbas seorang yang tinggi besar. Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam bertanya keheranan, "Ya Abal Yusr, bagaimana kau bisa
menawan Abbas?"
"Ya Rasulullah, aku dibantu oleh seorang
yang belum pernah kulihat sebelum dan sesudah itu (lalu ia mengutarakan
ciri-ciri dan perawakan orang itu)," jawab Abul Yusr.
"Kau dibantu oleh seorang malaikat yang
pemurah," sabda Rasulullah. Ketika
Abbas jatuh sebagai tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang
keadaan Muhammad kepada yang menawannya, "Bagaimana keadaan Muhammad dalam
peperangan ini?"
"Allah memuliakan dan
menenangkannya," jawabnya.
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya
Abbas "Rasulullah melarang kami
membunuhmu," jawabnya. "Itu
bukan kebaikannya yang pertama."
Abbas diborgol dan dikumpulkan bersama
tawanan perang lainya. Kiranya, ikatannya terlalu keras sehingga ia merintih
kesakitan. Ternyata rintihan itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Beliau gelisah dan tidak bisa memejamkan matanya. Berapa orang
shahabat yang melihatnya belum tidur, menegurnya, "Wahai Nabi Allah, sudah
jauh malam, engkau belum tidur?"
"Aku mendengar riuntihan Abbas,"
jawab Nabi. Orang itu lalu pergi
melonggarkan ikatannya, kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam.bertanya lagi, "Mengapa sekarang aku tidak mendengarkan
rintihannya?"
"Aku longgarkan ikatannya, ya
Rasulullah," jawab shahabat
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah
Nabi.
Pagi harinya, semua tawanan dihadapkan kepada
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Akhirnya, sampai giliran Abbas. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda,
"Ya Abbas, tebuslah dirimu dan keponakanmu aqil bin Abi Thalib, Naufal bin
al-Harits, dan teman karibmu Utbah bin Amru bin Jahdam karena engkau seorang
kaya."
"Ya Rasulullah, saya ini seorang Muslim,
tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh mereka," ucap Abbas. "Allah saja yang Maha Tahu dengan
keislamanmu itu: kalau pengakuanmu itu benar, Allah akan mengganjarmu, namun
aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah tebusanmu itu." 'Aku tidak mempunyai uang, ya
Rasulullah."
"Mana uang yang kau simpan pada Ummul
Fadhal, isterimu, ketika kau hendak keluar ikut
berperang, lalu pesanmu kepadanya, 'Kalau aku
tewas dalam peperangan, uang itu dibagi- bagikan antara kau, Fadhal, Abdullah,
Ubaidullah, dan Qatsam.'?" tanya Rasulullah.
"Dari mana kau tahu ini padahal aku
tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun?" tanya Abbas
keheranan. "Allah Subhânahu
wata'âla Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi. "Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah
dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
Pada saat itu, turunlah firman Allah Subhânahu
wata'âla. "Hai Nabi, katakanlah
kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu:"Jika Allah mengetahui ada
kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik
dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.,S. al-Anfal: 70)
Abbas berkomentar, "Allah berkenan
menepati janji-Nya kepadaku, memberikan kebaikan lebih dari apa yang diambil:
20 uqiyah diganti dengan 20 orang budak. Kini, aku sedang menantikan pengampun-Nya.
Aku diberi kuasa mengurus air zamzam dan aku bisa merasa bangga lebih dari itu,
meskipun aku memiliki semua harta penduduk kota Mekkah. Kini, aku sedang
menantikan pengampunan-Nya."
Akan tetapi, darimana ia memiliki harta bila
membeli dua puluh orang budak dan tiap budak memiliki modal edar yang
diperdagangkan? Ibnu Sa'ad dalam
bukunya, ath-Thabaqat al-kubra, menyebutkan bahwa al-Ala' bin al-Hadhrami
mengirimkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Harta benda sebanyak
80.000. Belum pernah Nabi menerima lebih dari itu. Kemudian Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam mengundang kaum muslimin. Begitu mereka melihat timbunan harta
itu, penuh sesaklah masjid dengan orang-orang. Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam membagi-bagikan hartra itu seolah-olah tanpa perhitungan dan
pertimbangan, masing-masing diberikan segenggam.
Abbas datang, lalu berkata kepada Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam., "Ya Rasulullah, aku telah memberikan
tebusanku dan tebusan Aqil bin Abi Thalib dalam perang Badar. Aqil tidak punya
uang penggantinya. Berikan aku dari uang ini!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
tertawa lebar sehingga terlihat gigi taringnya, lalu bersabda, "Harta itu
diambil seperlunya; yang lain dikembalikan!"
Ia lalu pergi dengan mengambil seperlunya,
seraya berucap, "Janji Allah kepadaku, yang satu sudah ditepati dan yang
lain aku belum tahu!"
Renungan
Abas bin Abdul Muththalib radhiallâhu 'anhu,
paman Rasululah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan saudara kandung ayahnya,
termasuk salah seorang tokoh shahabat yang ikut mengibarkan panji
Islam dan menyebarkan dakwahnya.
Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta
emas dalam baiat al-Aqabah al-Kubra, ia bertindak sebagai seorang penasihat dan
perunding ahli, menyertai keponakannya dalam majelis itu, membentangkan
sikapnya dengan tepat, dan mengamati sikap kaum Anshar yang hendak menerima
kedatangannya ke Madinah dengan cermat.
Ia memberikan gambaran kepada mereka akan
bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi sepanjang hidup mereka jika menerima
Muhammad Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Bangsa Arab tidak akan
membiarkan Muhammad dan dakwahnya berkembang dengan mulus kecuali kalau mereka
terpaksa.
Pada akhir perundingan, sesudah ia yakin
bahwa kaum Anshar dari Yastrib itu terdiri atas para pahlawan yang berbudi
luhur yang bisa dipercaya dan menerima keponakannya, barulah ia bangkit
mempertemukan tangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan tangan
wakil kaum Anshar itu sebagai tanda baiat disetujui dan janji setia dimulai,
disertai doa harap kepada Allah Subhanahu wata'ala mudah-mudahan persekutuannya
yang luhur akan melindungi agama-Nya dan Dia memberi taufiq dan
hidayah-Nya.
Ketika Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Hijrah ke Yastrib, Abbas menyatakan hasratnya akan menyusul ke sana. Akan
tetapi, beliau mencegahnya dan menganjurkan supaya tinggal di Makkah saja dulu
supaya bisa mendukung semangat kaum mustadh'afin di Mekah yang belum bisa
hijrah meninggalkan Mekah.
Abbas patuh kepada perintah Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Itu. ia tinggal di Mekkah bersama kelompok kaum
muslimin yang belum sanggup pergi berhijrah, menyiapkan kesempatan dan bekal
mereka, menutup utang-utang mereka, mengamati gerak-gerik kaum Quraisy supaya
selalu diketahui Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan tidak bisa
mengadakan serangan mendadak kepada mereka.
Pada permulaan Islam, Abbas banyak melunasi
utan kaum muslimin yang fakir misjkin. Pada zaman kita sekarang ini, alangkah
perlunya kita kepada seorang Abbas modern yang sudi menyelamatkan umat agar
tidak menjadi mangsa pengikut komunis dan kapitalis Barat, dan berdiri tegak
membendung invasi ideologi dan kristenisasi di kalangan kaum muslimin.
Ia menjadi tawanan dalam Perang Badar, ia
diborgol dan diringkus bersama tawanan yang lain. Ketika borgolnya
dilonggarkan, para tawanan yang lain pun harus dilonggarkan.
Tawanan lain harus, membayar uang tebusan,
Abbas pun harus membayar uang tebusan diri dan keluarganya. Itulah Islam, tidak
ada sistem famili atau keluarga, tidak mengutamakan kawan atau kenalan. Tolak
ukur keutamaan seseorang hanyalah karena ketakwaan dan amal salehnya.
Pada suatu hari, Khalifah Umar ibnul
Khaththab yang terkenal sebagai penakluk kekaisaran
Romawi dan Persia itu, mencabut pancuran air
dari rumah Abbas. Sesudah diberitahukan bahwa pancuran itu dahulu dipasang oleh
kedua tangan Rasulullah sendiri. Umar menggigil ketakutan; apakah ia akan
menyingkirkan apa yang diletakkan Rasulullah? Beranikah ia membongkar apa yang
dibangun Rasulullah? Umar resah dan gelisah atas perbuatannya. Ia mengumpat dan
mengutuk kelancangannya itu. Barulah ia puas sesudah Abbas menerima baik
sarannya untuk mengembalikan pemasangan pancuran.
Tiba giliran Umar untuk memperluas masjid
Nabawi. Sebagai khalifah kaum muslimin, sebagai panglima Angkatan Perang Islam,
ia mempunyai kekuatan penuh untuk merampas dan mengganti rugi dari Baitul mal,
demi kepentingan kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan hukum
agama.
Sikap Umar untuk menggusur rumah Abbas itu
rupanya kurang berkenan di hatinya, meskipun ia akan diganti rugi. Ia tidak mau
menjual apa yang diberikan Rasulullah itu dan tidak sudi menerima ganti
ruginya. Ia berikan sebagai sedekah karena Allah, demi kepentingan kaum
muslimin, sesudah Umar bersikap lemah-lembut tidak disertai paksaan dan
kekuasaannya.





0 Comments:
Posting Komentar